(Dongeng dari Banten)
Dua saudara kandung bisa terpisah hanya karena harta. Hal ini terjadi pada kisah Alo dan Ala. Sudah sejak lama, kedua orang tua Alo dan Ala meninggal dunia. Saat itu, Ala, si adik yang masih kecil, tidak mengerti tentang harta kekayaan orang tua mereka.
Alo, si kakak, ingin mengambil kesempatan emas ini. Diusirnya Ala, sang adik, dari rumah. Ala adalah seorang anak yang baik. Walaupun diperlakukan tidak adil oleh sang kakak, dia tidak menyimpan dendam sedikit pun. Dia hidup sangat sederhana di sebuah gubuk di pinggir desa. Untuk mencukupi kebutuhan hidup,
Ala mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke pasar. Sebenarnya, Alo tahu kalau adiknya hidup serba kekurangan. Namun, dia tidak memedulikan kondisi adiknya. Alo sibuk berfoya-foya, menghamburhamburkan harta warisan almarhum orang tuanya.
Pada suatu hari, hujan turun deras sekali. Hingga siang hari, hujan tidak juga reda. Gubuk reyot milik Ala ternyata tidak cukup kuat menahan derasnya hujan. Akhirnya, atap gubuk Ala yang terbuat dari rumbia roboh berantakan. Mau tidak mau,
Ala harus mencari tempat berteduh yang baru. Untunglah dia teringat ada sebuah gua yang sering dilaluinya ketika pergi dan pulang dari mencari kayu bakar. Ala pun memberanikan diri berteduh, walaupun dia belum pernah masuk ke sana.
“Aku akan tinggal di gua itu. Besok pagi kalau hujan sudah reda, aku akan memperbaiki rumahku yang roboh,” gumam Ala.
Sebelum pergi ke gua, Ala membawa ubi rebus secukupnya sebagai bekal untuk makan malam. Di tengah hujan deras, Ala berlari menuju gua tersebut. Sesampainya di pintu gua, Ala langsung masuk. Dia berjalan untuk mencari tempat istirahat yang nyaman.
Semakin ke dalam, suasana di dalam gua semakin terang dan hangat. Hingga akhirnya, Ala melihat tumpukan emas permata berserakan di mana-mana. Karena kelelahan, Ala pun tertidur. Bekal ubi yang dibawanya terjatuh di samping tubuhnya. Kemudian, Ala bermimpi. Dia berada di dalam sebuah istana yang dipenuhi oleh peri-peri yang jelita. Di sana, dia disambut ramah oleh mereka.
“Selamat datang di istana kami, Ala,” ujar salah satu Peri tercantik menyambut kedatangannya. Dia adalah Ratu Peri di istana itu.
“Di mana aku sekarang?“ tanya Ala pada Ratu Peri. Ala terkagum-kagum pada apa yang dilihatnya.
“Kau berada di istana Peri, Ala. Anggaplah istana ini seperti rumahmu sendiri. Oh ya, terima kasih atas oleh-olehnya, ya?” jawab Ratu Peri.
“Oleh-oleh apa?” tanya Ala tidak mengerti.
“Ubi ini,” jawab Ratu Peri sambil menunjukkan bungkusan ubi yang tadi dibawa Ala sebagai bekal.
”Kami bangsa Peri sangat menyukai ubi. Bukankah ini sengaja kau bawa untuk kami? Sebagai gantinya, silakan kau ambil apa saja yang kau mau di istana ini. Emas, permata, atau apa saja yang kau inginkan. Ambillah sesukamu,” kata Ratu Peri itu sambil menuntun Ala.
Ala mengangguk mengiyakan. Pandangannya tertuju pada sebuah Bokor Kayu yang terletak di ujung ruangan tersebut. Bentuk Bokor Kayu itu sangat indah.
“Kalau diizinkan, aku ingin memiliki Bokor Kayu itu,” pinta Ala pada Ratu Peri.
“Tentu saja boleh, Ala. Bokor ini adalah bokor ajaib. Kau boleh meminta apa saja dengan mengucapkan permintaanmu di depan Bokor itu,” jawab Ratu Peri.
Ketika terbangun dari tidurnya, bungkusan ubi yang dibawa Ala telah berganti menjadi Bokor Kayu yang dilihatnya dalam mimpi. Ala pun segera pulang ke rumahnya. Di perjalanan dia teringat akan mimpinya semalam. Ala pun meminta agar rumahnya bisa menjadi bagus sambil berdoa pada Tuhan.
Betapa terkejutnya Ala ketika sampai di rumah. Gubuk reyot miliknya yang kemarin rusak kini telah berubah menjadi sebuah rumah bagus. Kehidupan Ala pun ikut berubah. Perubahan ini rupanya terdengar oleh Alo, kakaknya.
Diam-diam Alo mencari tahu dari mana semua kekayaan Ala. Setelah beberapa hari menyelidiki, akhirnya Alo tahu dari mana sumber kekayaan Ala. Diam-diam, dia mencuri Bokor Kayu milik Ala.
Sesampainya di rumah, dia berkata pada Bokor Kayu itu, ”Wahai Bokor Kayu, berikan aku emas yang banyak sekali!” Seketika itu juga emas berhamburan keluar dari Bokor Kayu itu. Alo yang serakah girang tak terkira.
Tanpa disadari, tubuhnya telah tertutup sebagian oleh timbunan emas. Namun, dia masih saja terbuai dengan emas yang berlimpah. “Oh, emas... emas...!” teriak Alo girang.
Semakin lama emas tersebut semakin banyak hingga tubuh Alo terbenam sampai leher. Dia pun sadar dan mulai berteriak-teriak minta tolong. “Toloong...., tolong akuuu....!” teriak Alo.
Untunglah Ala segera datang. Dia pun meminta Bokor Kayu untuk berhenti mengeluarkan emas. Sejak itu, Alo menyadari semua kesalahannya dan tidak lagi menjadi orang yang serakah. Alo pun meminta maaf kepada Ala atas semua perbuatannya selama ini.
Pesan cerita:Keutuhan tali persaudaraan harus selalu dijaga dari sifat serakah dan iri hati.
Rabu, 09 Maret 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar