Perjalanan melewati bukit dan jalan berliku selama lebih kurang 4 jam akhirnya membawaku ke sebuah kota kecil di perbatasan Sumatera Barat dan Jambi. Sekilas kota Darmasraya berada di tengah hutan. Pusat keramaian berada di Pulau Punjung hingga Simpang Kabau. Tidak banyak orang tahu kalau kota kecil ini dulunya adalah pusat kerajaan Melayu Dharmasraya.
Jangan ragu untuk menginap di Darmasraya, karena kota ini memiliki penginapan yang lumayan nyaman untuk ditinggali selama beberapa hari. Sebenarnya ada banyak sekali wisata sejarah terutama yang berkaitan dengan jejak Melayu Kuno. Sayangnya di sini tidak ada kendaraan umum yang bisa kita tumpangi untuk berkeliling. Jadi kita harus membawa kendaraan sendiri dari kota Padang agar bisa puas berkeliling di sini.
Kalaupun tidak, kita bisa datang ke sini dengan naik travel dari kota Padang dengan biaya Rp 60.000. Setelah itu kita bisa memanfaatka jasa ojek. Besarnya jasa ojek ini tergantung kesepakatan kemana kita akan diantar. Sebaiknya kita memang harus tahu terlebih dahulu latar belakang tempat yang akan kita tuju karena warga Darmasraya sendiri juga tidak banyak yang tahu tentang keberadaan lokasi wisata sejarah yang ada di sana.
Sebenarnya ada papan petunjuk jalan, namun sayangnya papan itu hanya dipasang di jalan utama saja. Ketika kita melewati pertigaan atau perempatan yang sepi maka tidak ada papan petunjuk jalan yang bisa kita jadikan patokan. Malangnya lagi adalah ketika kita menemukan jalan yang sangat sepi sehingga tidak ada orang yang bisa kita tanyai.
Padang Roco adalah sebuah candi yang ada di Darmasraya sekaligus merupakan candi tertua di Sumatera Barat. Ini merupakan candi agama Hindu-Budha yang dibangun pada masa sebelum Adityawarman. Di Padang Roco inilah dulu Arca Bhairawa setinggi 4, 41 cm yang sekarang disimpan di museum nasional ditemukan. Begitu juga dengan prasasti Amogaphasa yang juga sekarang berada di Museum Nasional Jakarta.
Ada beberapa jalan menuju Padang Roco sebenarnya. Kalau mau jalan memutar maka dari jalan lintas Sumatra kalau dari arah Padang atau Sijunjung kita bisa mengikuti papan penunjuk jalan "Padang Roco" yang berada di sebelah kiri jalan. Jalanan yang kita lalui adalah jalan mulus melewati hutan karet dan hutan kelapa sawit.
Sampai nanti kita akan menemukan perempatan dan penunjuk jalan menuju SLBN 1 Pulau Punjung, kita ikuti saja penunjuk jalan itu karena sudah tidak ada lagi penunjuk jalan yang mengarahkan kita menuju Padang Roco. Nanti kita akan melewati jembatan. Nah setelah jembatan ini jalanan sudah mulai jelek alias jalan bebatuan dan tidak beraspal.
Kalau kita mau menikmati sensasi naik perahu Ponton, maka bisa juga lewat Simpang Kabau. Di sana ada papan penunjuk jalan menuju Padang Roco. Tapi lagi-lagi ketika kita dihadapkan pada pertigaan jalan maka tidak ada papan penunjuk jalan di sana. Dan jalan menuju Padang Roco adalah yang ke kanan.
Nanti kita akan melewati situs Siguntur yaitu Mesjid Tuo, makam Raja Siguntur dan rumah gadang Siguntur. Kira-kira 100 meter dengan jalan menurun kita akan menemukan sungai Batanghari dan perahu ponton. Kalau aku memilih berangkat naik Ponton dan pulangnya lewat jalan biasa yang melalui SLBN 1, jadi bisa merasakan dan tahu kedua jalan yang berbeda itu.
Kompleks Candi Padang Roco berada di tengah-tengah hutan karet. Di sekitar sini kita juga bisa menemukan pohon durian besar yang tumbuh liar. Suasana sepi dan sunyi sangat terasa ketika aku datang ke tempat ini. Sebenarnya di tempat ini juga tersedia bangku-bangku di bawah pohon sehingga kita bisa duduk santai sejenak di sini.
Di sini pada tahun 1911 pernah ditemukan sebuah prasasti yang dinamakan “Prasasti Padang Roco”. Prasasti ini berupa alas dari Arca Amoghapasa dimana pada keempat sisinya terdapat manuskrip dua bahasa yaitu bahasa melayu kuno dan bahasa Sansekerta dengan aksara Jawa kuno. Kini prasasti itu tersimpan di Museum Nasional. .
Dalam prasasti yang berangka tahun 1208 Saka atau 1286 masehi itu disebutkan bahwa Arca Amoghapasa merupakan hadiah dari Raja Kertanagara dari Kerajaan Singasari di Bhumijawa (Jawa) untuk Raja di Kerajaan Melayu Dharmasraya di Swarnabhumi (Sumatera). Raja Singasari berharap rakyat Swarnabhumi akan bersuka cita dengan adanya hadiah tersebut.
Ada tiga buah candi yang ada di kompleks seluas 6.000 meter persegi ini. Masing-masing diberi nama Candi Padang Roco I, II dan III. Ketiga candi ini diberi pagar sekelilingnya serta diberi atap pelindung dari seng. Besarnya ketiga candi ini pun berbeda-beda.
Candi terbesar atau yang dikenal sebagai candi induk adalah Candi padang Roco I. Bangunan candi ini terdiri dari tumpukan bata yang berukuran kurang lebih 21 X 21 meter dengan ketinggian bata 90 cm. Pada tumpukan bata ini juga terdapat tangga masuk ke atas pada keempat sisinya.
Candi Padang Roco II merupakan tumpukan bata berbentuk bujur sangkar. Candi ini terdiri dari 3 undakan yang masing-masing undakan berukuran kurang lebih 2 X 2 meter. Ada sekitar 7 lapisan bata yang membentuk bangunan candi Padang Roco II ini. *Candi Padang Roco III terdiri dari susunan bata dengan bentuk bujur sangkar. Candi ini berukuran 4,4 X 4,4 Meter dengan tinggi sekitar 1,28 meter. Ada tanda-tanda pintu masuk berupa tangga yang berada di bagian barat. Tangga ini diperkirakan sebagai arah menghadapnya candi yaitu barat daya-timur laut.
Di areal komplek Candi Padang Roco ini juga ditemukan parit sedalam 1-5 meter dengan lebar 4-8 meter. Adanya parit keliling dari barat ke utara dan berakhir di timur ini memperkuat pendapat para ahli bahwa dulunya Padang Roco merupakan pusat pemerintahan kerajaan Melayu Darmasraya pada tahun 1286 hinga 1347 Masehi.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu akan sejarah bangsanya. Jadi tidak ada salahnya kita melakukan wisata sejarah untuk mengetahui sejarah bangsa Indonesia. Apalagi wisata sejarah seperti ke Padang Roco yang penuh petualangan ini. Perjalanan terasa menyenangkan dan ada banyak kisah yang bisa kita ceritakan pada orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar