Raden Banterang adalah seorang Raja di ujung Timur Pulau Jawa. Ia sangat suka berburu binatang di hutan. Pada suatu ketika Raden Banterang bertemu seorang perempuan yang tersesat di hutan dengan keadaan yang menyedihkan.
“Apa yang kau lakukan di dalam hutan ini?” tanya Raden Banterang pada perempuan itu.
“Aku lari menyelamatkan diri karena kerajaanku di Klungkung Bali, telah diserang musuh.” Perempuan itu nampak ketakutan melihat Raden Banterang.
Raden Banterang merasa kasihan pada perempuan tersebut karena sebenarnya yang menyerang kerajaan Klungkung adalah dirinya. Ketika sampai di istana, perempuan yang ternyata bernama Surati itu diperlakukan secara istimewa oleh Raden Banterang. Hingga akhirnya, Surati menjadi permaisuri Raden Banterang dan hidup bahagia.
Beberapa tahun kemudian, ketika Raden Banterang sedang berburu di hutan, ada seorang pengemis yang memaksa untuk menemui Surati di istana.
“Apa kau sudah lupa padaku Surati?” tanya pengemis itu ketika sudah diijinkan masuk ke dalam istana.
Surati menatap pengemis itu sebentar. Pengemis itu ternyata adalah kakaknya yang bernama Rupaksa.
“Kau telah berkhianat Surati, Raden Banterang adalah orang yang membuat kita semua menderita. Ia telah menyerang kerajaan Klungkung dan membunuh Ayah kita. Seharusnya kau membalas dendam dengan membunuh suamimu itu dan menguasai kerajaan ini.”
Rupaksa berusaha membujuk Surati, namun Surati adalah perempuan yang baik. Ia merasa telah diselamatkan oleh Raden Banterang ketika berada di hutan. Oleh karena itu Surati menolak ajakan Rupaksa untuk membalas dendam kepada Raden Banterang. Rupaksa pergi dengan marah, tapi sebelumnya ia memberikan sebuah kain pengikat kepala sebagai kenang-kenangan untuk Surati.
Di dalam hutan, Rupaksa menemui Raden Banterang. Ia membuat cerita bohong dengan mengatakan bahwa Surati telah menyimpan kain pengikat kepala milik laki-laki lain dan ingin membunuh Raden Banterang. Tentu saja Raden Banterang marah dan segera kembali ke istana.
Sesampainya di istana Raden Banterang mencari kain pengikat kepala yang dikatakan oleh pengemis tadi. Ikat kepala tersebut akhirnya ditemukan di lemari istrinya. Raden Banterang sangat marah dan menghunuskan pedang ingin membunuh istrinya.
Surati ketakutan dan melarikan diri hingga ke tepi sungai. Ia mencoba membela diri dengan menjelaskan bahwa ikat kepala itu adalah milik kakaknya. Tapi Raden Banterang tetap tidak percaya dan menancapkan kerisnya ke perut Surati.
“Aku akan menceburkan diriku ke dalam sungai ini. Jika air sungai ini menjadi jernih dan berbau harum, itu berarti aku tidak bersalah.”
Ternyata air sungai tersebut menjadi jernih dan berbau harum. Raden Banterang menyesal karena tidak mempercayai istrinya. Untuk mengingat istrinya, maka Raden Banterang menamakan tempat tersebut “ Banyuwangi”. “Banyu” artinya air, dan “wangi” artinya harum.
0 komentar:
Posting Komentar