Senin, 10 Februari 2014

Candi Cetho - Candi Ruwatan Dulu dan Kini


Perjalanan menuju Candi Cetho dimulai dari kota Solo ke timur menuju lereng Gunung Lawu Jawa Tengah. Setelah melewati kota Karangayar jalan mulai sedikit menanjak walaupun tidak tajam. Jalan menanjak dan berliku mulai terasa setelah melewati terminal Karangpandan. Ketika menemui pertigaan pertama maka kita harus belok kiri. 
Gapura di pos penjagaan pertama 
Sebuah gapura bertuliskan “Wisata Cetho Sukuh” bisa memastikan kalau kita tidak salah arah. Papan penunjuk jalan menuju Candi Cetho juga terpasang di beberapa persimpangan. Hingga akhirnya kita akan memasuki hamparan perkebunan teh. 


Pemandangan di sepanjang jalan menuju Candi Cetho 
Sebuah turunan tajam yang sempit di tengah-tengah kebun teh membawa kita pada pos penjagaan pertama menuju Candi Cetho. Di pos ini kita harus membayar retribusi. Masih ada satu pos lagi yang juga berada di tengah-tengah kebun teh. 
Gapura Candi Cetho 
Jalan semakin menanjak dan tikungan semakin tajam ketika kita semakin mendekati candi cetho. Di ujung kebun teh kita akan disambut sebuah gapura candi hindu yang tinggi. Jalan menanjak harus kita lalui untuk bisa sampai di gapura dengan berjalan kaki. Udara yang dingin mampu menyapu keringat yang keluar dari tubuh kita dengan cepat. Dari gapura ini kita bisa melihat pemandangan kota yang indah di bawah sana. 
Candi Cetho 
Dari gapura ini pula kita akan melihat ke atas sebuah pemandangan yang menakjubkan. Gerimis kecil dan kabut tipis menghiasi teras candi Cetho yang ada di atas. Melihat ke sana seolah memandang sebuah negeri di awan dengan latar belakang pohon pinus yang samar. 

Bangunan Candi Cetho Mirip Candi Suku Maya 

Candi Cetho berada pada ketinggian 1496 m dpl tepatnya di Dusun Ceto Desa Gumeng Kecamatan Jenawi Kabupaten Karangayar. Tempat ini tertata rapi dengan ukuran 190 X 30 meter. Dalam bahasa Cetho artinya jelas . 
Dari gapura Candi Cetho kita bisa melihat pemandangan di bawahnya 
Dari Candi Cetho ini kita memang bisa melihat jelas pemandangan yang ada di bawahnya juga gunung-gunung di sekitarnya. Dari atas Candi Cetho kita bisa melihat Gunung Merapi dan Merbabu, Gunung Lawu bahkan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Kita juga bisa melihat pemandangan kota Solo dan Karangayar yang ada di bawahnya. 
Patung yang ada di depan gerbang Candi Cetho 
Dari bentuk bangunannya kita akan tahu bahwa Candi Cetho merupakan Candi Hindu. Hingga kini Candi Cetho masih digunakan untuk tempat ibadah. Namun bangunan Candi Cetho memang tidak seperti Candi Hindu lainnya. Bentuk Candi Cetho adalah punden berundak yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan asli masyarakat lereng Gunung Lawu. 

Dari penggalian yang dilakukan pada tahun 1928 ditemukan prasasti yang bisa menunjukkan bahwa Candi Cetho dibangun sekitar abad ke-15 tepatnya pada akhir masa kejayaan Majapahit. Kala itu Prabu Brawijaya memilih untuk pergi bertapa dan moksa ketika kerajaan Majapahit sudha kalah pamor dengan kerajaan Demak yang dipimpin oleh putranya sendiri yaitu Raden Patah. 
Kita bisa membaca kisah tentang Candi Cetho di papan ini 
Candi Cetho sebenarnya mempunyai 14 teras berundak yang membentang dari barat ke timur yang dimulai dari bawah ke atas. Namun yang tersisa hanya tinggal 13 teras saja. Bahkan setelah dipugar pada tahun 1975-9176 oleh Sudjono Humardani kini hanya tinggal tersisa 9 teras. 
Salah satu tempat yang digunakan untuk meditasi di teras bawah 
Candi Cetho pertama kali ditemukan keberadaannya oleh seorang Belanda bernama Van de Vlies pada tahun 1842. Setelah itu ahli purbakala lain juga pernah meneliti candi ini diantaranya adalah A.J. Bennet Kempers, N.J. Krom, W.F. Sutterheim, K.C. Crucq juga seorang Indonesia yang bernama Riboet Darmosoetopo. 
Bangunan pendopo 
Walaupun diyakini bahwa Candi Cetho dibangun pada jaman Majapahit namun bangunan Candi Cetho ini lebih mirip dengan candi yang dibangun pada peradaban suku Maya di Meksiko juga suku Inca di Peru. Selai itu di Candi Cetho juga banyak ditemukan arca yang wajahnya mirip orang Sumeria. Jadi dari bukti yang ada maka Candi Cetho diperkirakan sudah ada jauh sebelum jaman Majapahit. 

Gapura yang berada di bagian depan Candi Cetho merupakan bangunan baru yang dibuat pada saat pemugaran dilakukan. Begitu juga dengan bangunan-bangunan lain yang berbahan kayu seperti pendopo dan tempat pertapaan. Selain itu yang juga ikut dibangun pada saat dipugar adalah kubus pada puncak berunden, Lingga, patung Brawijaya V, patung Sabdopalon serta Nayagenggong. 

Candi Ruwatan Pembebas Kutukan Sejak Dulu Kala 

Candi Cetho hingga kini masih dipakai sebagai tempat beribadah umta Hindu dan pemeluk keyakinan Kejawen. Di Candi ini kita jumpai bangunan semacam pendopo besar dan kecil yang fungsinya untuk bertapa atau meditasi. Pada bangunan utama Candi bisa kita lihat bangunan semacam Piramida yang berada di puncak Candi. 
Lingga dan Yoni
Setelah melewati gapura yang tinggi kita akan menginjakkan kaki di sebuah halaman luas. Di sana ada batuan yang ditata mendatar yang jika kita amati bentuknya menyerupai Garuda yang sedang membentangkan sayapnya. Di bagian atas tatanan batu itu bisa kita lihat lingga dan yoni dalam bentuk yang sebenarnya. Di sini Lingga menyentuh Yoni yang merupakan lambang kelahiran baru. Ini bisa diartikan sebagai kebebasan dari kutukan atau suci kembali seperti halnya bayi yang baru lahir. 
Salah satu relief yang bercerita tentang Garudeya 
Fungsi Candi yang digunakan sebagai tempat ruwatan juga diperkuat dengan prasasti yang ditemukan. Pada prasasti itu diperoleh informasi bahwa Candi Cetho didirikan pada tahun 1397 saka atau 1475 Masehi sebagai tempat ruwatan atau pembebas kutukan. Di candi ini juga ditemukan relief yang menceritakan mitos Samudramanthana dan Garudeya. Relief ini merupakan kisah pembebasan Winata yang diperbudak KArdu oleh Garudeya. 
Salah satu area yang digunakan untuk ruwatan


0 komentar:

Posting Komentar