Sabtu, 03 Januari 2015

Ayam Luh Lancah - Cerita Rakyat Bali

Keserakahan bisa membuat kita kehilangan . 

Di sebuah dusun di Bali hidup sepasang suami istri, sang suami bernama I Pagul sedangkan istrinya bernama Luh Lancah. Mereka tinggal dalam gubuk sederhana. Sehari-hari keduanya hidup dengan berkebun di pekarangan yang tidak begitu luas serta memelihara ayam. Setiap hari pasaran, I Pagul selalu membawa hasil kebun mereka yang berupa ubi, singkong dan sayur-sayuran serta telur-telur ayam untuk dijual. Uang hasil penjualan tersebut mereka gunakan untuk membiayai hidup. 

Sebetulnya keluarga itu hanya mempunyai empat ekor ayam, tiga ekor betina dan seekor ayam jantan. Ketiganya diberi nama sesuai dengan warna bulunya. Masing masing berwarna Putih, Hitam dan merah keemasan. Yang merah keemasan ini dipanggil Si Merah sedangkan ayam jantan karena mempunyai warna bulu yang sama dengan Si Merah maka ia dipangil dengan nama Si Jago. 

Setiap pagi Luh Lancah selalu rajin memberi makan ayam-ayam nya. Setelah ayam-ayam tersebut keluar dari kandang serta mematuki makanan yang disebar Luh Lancah dihalaman, ia pun segera mengambil telur dari masing masing petarangan . 

“Aneh…………..sudah tiga hari Si Putih tidak bertelur,” pikir Luh Lancah . 

Serta merta ia berteriak,” Putih………………….kau memang ayam yang malas, tak ada gunanya aku memberimu makan kalau kau tidak lagi bisa bertelur. Awas ya kalau sampai besok pagi kau tidak juga memberiku telur, maka aku akan memotongmu. “ 

Si Putih yang merasa bersalah hanya bisa menjawab,” petok……..petok……. petok.” 

Pandangan mata Si Putih tertuju pada Si Jago seolah menyalahkan kalau Si Jagolah yang seharusnya bertanggung jawab, karena kalau tidak dikawini oleh Si Jago mana bisa Si Putih bertelur. 

Si Jago ternyata juga mengerti kalau dirinya ikut bersalah, selama ini ia mungkin kurang memperhatikan Si Putih. Untuk menghibur Si Putih Si Jago berkoko dengan lantang,” Kukuruyu……….k, kukuruyu……….k.” 

Malam itu Luh Lancah berpesan pada suaminya,” Pak, besok pagi tolong kau belikan aku bumbu opor di pasar. Si Putih rupanya sudah tidak bisa bertelur lagi. Besok pagi kalau ia tetap tidak mau bertelur maka aku akan memotongnya. Akan kumasak opor ayam.”

I Pagul mengangguk tanda mengiyakan karena sebetulnya ia sudah sangat mengantuk dan ingin cepat-cepat tidur. 

Keesokan harinya seperti biasa Luh Lancah menebar makanan ayam di halaman. Begitu pintu kandang dibuka keempat ayam-ayamnya berhamburan keluar. Mungkin mereka sudah sangat lapar dan ingin sarapan. Sekarang giliran Luh Lancah untuk mengambil telur-telur di masing-masing petarangan. Betapa terkejutnya ia ketika pada petarangan Si Putih terdapat sebutir telur dengan ukuran lebih kecil dan berwarna keemasan. 

Luh Lancah tidak bisa menahan perasaannya yang sekarang sudah campur aduk antara senang yang teramat sangat, takjub dan perasaan bersalah karena akan memotong si Putih. Tak sabar rasanya ia ingin memberitahukan suaminya. 

Berhubung I Pagul belum pulang dari pasar ia hanya berteriak pada Si Putih,” Terima kasih Putih aku tidak jadi memotongmu hari ini, besok bertelur lagi ya. Coba dari kemarin kau bilang kalau kau tidak bertelur tiga hari karena telurmu akan berubah menjadi emas.’ 

Tentu saja Si Putih keheranan.kemarin ia tidak bertelur Luh Lancah berteriak, sekarang ia bertelur Luh Lancah tetap berteriak. 

Telur emas tersebut digenggamnya. Sambil menunggu suaminya pulang Luh Lancah duduk-duduk di depan rumahnya sambil memandangi Si Putih dan telur emas yang ada dalam genggamannya. 

“ Dengan satu bitir telur emas ini aku akan membangun rumahku menjadi istana. Tentunya didalam perut Si Putih pasti masih banyak telur-telur emas yang akan ia keluarkan setiap harii. Tapi untuk apa aku harus menunggu berhari-hari. Sekarang saja aku ambil semuanya. Itu berarti aku harus memotong Si Putih, kuambil semua telur didalam perutnya dan aku akan menjadi orang terkaya di Bali”pikir Luh Lancah. 

Segera Luh Lancah mengambil pisau di dapur, sebelumnya terlebih dahulu ia menebarkan makanan agar Si Putih mudah ditangkap ketika ia makan. Setelah ayam itu mati dipotong, Luh Lancah membelah dadanya. Tapi yang ia temui bukanlah telur-telur emas melainkan bakal telur yang masih lembek. 

Luh Lancah kembali berteriak, kali ini dalam tangisan yang mengharu biru. “Puti………..h kau harus hidup lagi………”.

Seandainya saja ia mau bersabar menunggu telur-telur itu keluar sendiri dari perut Si Putih setiap hari.

0 komentar:

Posting Komentar