Kamis, 22 Mei 2014

Legenda Kolam Sampuraga - Cerita Rakyat Sumatera Utara

Di Mandailing Natal Sumatera ada sebuah danau kecil yang dikenal dengan nama “kolam air panas Sampuraga”. Di sana kita bisa melihat gundukan batu kapur yang menyerupai kerbau dan makanan yang dihidangkan dalam pesta. Jika kita berkata “ O, Sampuraga na maila marina” (O, Sampuraga yang malu mengakui ibunya), maka air panas dalam kolam itu akan bergolak-golak. Terjadinya danau tersebut dikaitan dengan cerita Sampuraga. 

Sampuraga dan ibunya yang sudah tua tinggal di desa Padang Bolak. Mereka berdua sangat miskin, bahkan rumah mereka adalah pinjaman dari seorang kaya di desa Padang Bolak, yang merasa kasihan kepada Sampuraga dan ibunya. 

Setiap hari Sampuraga dan ibunya hidup dari hasil mencari kayu bakar di hutan. Keduanya bekerja sejak pagi hingga sore hari, tapi hasil yang mereka dapat hanya sedikit. Kadang-kadang ibu Sampuraga menjadi buruh tani di sawah milik orang lain, tapi itu tidak bisa membuat kehidupan merekaberdua menjadi lebih baik. 

Ketika sudah dewasa, Sampuraga berpamitan kepada ibunya untuk pergi ke Mandailing. Sampuraga berharap di Mandailing ia bisa mendapat pekerjaan yang baik, agar hidup mereka berdua menjadi lebih baik. Akhirnya ibu Sampuraga mengijinkan anaknya pergi dengan sedih. 

“Cepatlah kau mengirim kabar kepada ibumu yang sudah tua ini, Sampuraga. Ibu pasti akan selalu merindukanmu.” 

Walaupun sedih, tapi ibu Sampuraga selalu mendoakan anaknya agar bisa berhasil di Mandailing nanti. Ternyata doa ibu Sampuraga di kabulkan. Dalam perjalanan ke Mandailing, Sampuraga diterima bekerja pada seorang pedagang paling kaya di kerajaan Pidoli. 

Sampuraga bekerja dengan rajin, setiap hari ia bekerja tidak mengenal lelah. Karena kesibukannya itu, ia sampai lupa mengirim kabar kepada ibunya. Sementara itu, ibu Sampuraga setiap hari selalu menunggu kabar tentang anaknya. Hatinya selalu cemas memikirkan keadaan anaknya yang hidup jauh dari dirinya. 

Pedagang kaya yang mempekerjakan Sampuraga sangat senang dengan Sampuraga yang rajin bekerja. Ia menawarkan uang untuk digunakan oleh Sampuraga sebagai modal dagang. Maka sejak saat itu Sampuraga mulai berdagang sendiri. 

Karena rajin dan pandai, beberapa tahun kemudian Sampuraga sudah menjadi pedagang yang kaya di kerajaan Pidoli. Di saat itu pula, Sampuraga ingin menikah dengan putri bekas majikannya dulu. Berita bahwa Sampuraga ingin menikah terdengar oleh ibunya di Padang Bolak. 

Awalnya si ibu ragu karena ia tidak yakin bahwa Sampuraga yang kaya itu adalah anaknya. Maka dengan sekuat tenaga, ibu Sampuraga berusaha untuk menemui anaknya. Walaupun dalam keadaan sakit, ibu Sampuraga tetap memaksakan diri untuk berjalan kaki dari Padang Bolak hingga ke Pidoli. 

Ketika sudah tiba di kerajaan Pidoli, ibu Sampuraga bisa dengan mudah menemukan anaknya. Ketika memasuki kerajaan Pidoli, orang beramai-ramai menuju rumah Sampuraga untuk melihat Gordang Sambilan, yang dipentaskan di acara pernikahan Sampuraga. Ibu Sampuraga pun mengikuti orang-orang tersebut. 

Dalam pesta yang meriah itu, ibu Sampuraga melihat anaknya sedang duduk di atas panggung bersama istrinya dengan memakai pakaian adat. Karena gembira bisa melihat anaknya, ibu Sampuraga secara spontan berteriak. “Sampuraga, ibu senang akhirnya bisa bertemu denganmu.” 

“Kau bukan ibuku, ibuku sudah lama mati.” Kata-kata Sampuraga tersebut membuat ibunya sangat sedih. Ia tidak pernah menyangka sebelumnya, anaknya akan tega berkata seperti itu. Ibu Sampuraga kemudian berusaha memeras air susunya sambil menangis. 

“Kau boleh berkata seperti itu, tapi air susu ini adalah saksi bahwa kau adalah anakku.” Setelah ibu Sampuraga berkata demikian, tiba-tiba langit menjadi gelap dan kilat menyambar. Tak lama kemudian datang air bah yang sangat besar dan menyapu seluruh kerajaan Pidoli. Tempat tersebut kemudian berubah menjadi sebuah danau. 

Ibu Sampuraga menghilang. Hewan ternak yang akan dimasak untuk pesta itu beubah menjadi batu. Begitu juga dengan makanan yang sudah tersaji di sana berubah menjadi batu. 


0 komentar:

Posting Komentar