Rabu, 10 Desember 2014

Legenda Pohon Enau - Cerita Rakyat Bengkulu

Sebuah kebaikan hati seseorang yang dilakukan dengan tulus akan dirasakan manfaatnya bagi orang lain walaupun orang tersebut sudah meninggal dunia. 

Orang mengenal pohon enau atau pohon aren sebagai sebuah pohon yang hampir seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan oleh manusia seperti halnya pohon kelapa, karena pohon ini memang masih satu keluarga dengan pohon kelapa. Tulang daunnya dijadikan sebagai sapu lidi. Ijuknya yang berwarna hitam digunakan sebagai sapu ijuk yang biasa dipakai untuk menyapu rumah. Buahnya enak dimakan sebagai kolang-kaling yang lezat disajikan sebagai manisan atau kolak. Yang tak kalah pentingnya lagi adalah air yang ditoreh dari tangkai buahnya bisa menghasilkan gula merah. 

Dari sekian banyak jasa pohon enau pada manusia tersebut, ternyata dulunya pohon enau memang berasal dari seorang putri yang baik hati, namanya Putri Sedaro Putih. Dahulu ada sebuah keluarga yang tinggal dengan masyarakat suku Rejang. Keluarga ini terdiri dari tujuh bersaudara. Ayah dan ibu mereka sudah lama tiada ketika si bungsu lahir. Ketujuh saudara ini terdiri dari enam anak laki-laki dan satu orang anak perempuan yang bernama Putri Sedaro Putih. 

Sebagai anak bungsu Putri Sedaro putih selalu di sayang oleh ke enam kakak-kakaknya. Walau demikian Putri Sedaro Putih tumbuh sebagai seorang anak yang rajin dan berhati mulia. Setelah menginjak dewasa, Putri Sedaro Putih jatuh sakit. Semakin hari sakitnya bertambah parah, hingga pada suatu hari ia berkata pada kakak-kakaknya,” Mungkin umurku tidak akan lama lagi, tapi jangan kuatir, aku akan tetap membantu kakak-kaka semua. Di atas tanah kuburanku nanti akan tumbuh sebatang pohon yang belum ada sebelumnya diatas bumi ini. Sayangi dan peliharah pohon itu seperti kalian menyayangiku, suatu saat pohon itu akan sangat berguna bagi semluruh manusia.” 

Selang beberapa hari kemudian Putri Sedaro Putih meninggal. Semua kakaknya tentu saja sangat sedih. Begitu sayangnya mereka pada adik perempuan satu-satunya itu, jasad Putri Sedaro Putih mereka kuburkan dihalaman belakang rumah. Rak jauh dari kuburan itu mereka Tanami pohon kayu kapung sebagai pelindung agar kuburan putrid Sedaro Putih tidak kepanasan oleh teriknya matahari. 

Benar apa yang dkatakan oleh Putri Sedaro Putih sebelum ia mati. TAk lama kemudian dari atas tanah kuburannya tumbuh sebuah pohon yang menyerupai pohon kelapa. Semakin lama pohon itu semakin besar,. Oleh kakak-kakaknya pohon itu diberi nama pohon Sedaro Putih, untuk mengenang adik mereka. Setelah lima tahun pohon itu berbunga dan berbuah. 

PAda suatu hari salah satu dari kakak Putri Sedaro Putih duduk-duduk didekat kuburan adiknya. Sambil tiduran, matanya memandang keatas. Angin sepoi-sepoi menggoyang-goyangkan pohon kayu apung hingga tangkainya memukul-mukul pohon Sedaro Putih. Lama-kelamaan tangkai pohon Sedaro Putih yang tergores itu mengeluarkan cairan kuning, semakin lama semakin banyak, hingga menetes kebawah. Seekor tupai melompat pada pohon sedaro putih dan menjilat-jilat cairan itu. Dengan rasa penasaran kakak Sedaro Putih ikut pula merasakan cairan yang menetes itu. 

“Hmm…… sangat manis. Aku akan menampung tetesan air ini.” Kata Kakak Putri Sedaro Putih, iapun segera bergegas kedapur , mengambil bambu untuk menampung tetesan air itu yang semakin lama semakin banyak. Hari berikutnya ia memukul-mukul tangkai buah pohon sedaro putih seperti yang dilakukan oleh batang kayu kapung, hingga mengeluarkan cairan. Setelah itu di tampung pada batang bamboo besar yang diikatkan pada batang pohon. 

Semakin hari cairan yang terkumpul semakin banyak. Akhirnya muncul ide dari kakak-kakak putrid sedaro putih untuk memasak cairan tersebut. Semakin lama dimasak cairan tersebut semakin mengental. Akhirnya setelah dingin cairan itu mengeras dan dijadikan sebagai gula. Sejak saat itu orang mengenal cara membuta gula merah.

0 komentar:

Posting Komentar