Rabu, 15 Januari 2014

Menuju Pulau Seribu


Mungkin bagi orang lain perjalanan satu jam menuju pulau Pramuka Kepulauan Seribu adalah perjalanan yang singkat. Namun tidak bagiku, perjalanan itu merupakan perjalanan paling panjang yang pernah aku tempuh. Bahkan menunggu saat itu tiba bagiku seperti menunggu saat eksekusi mati. Air laut yang beriak kecil pagi itu awalnya terlihat seperti belantara air yang menyeramkan. Namun perlahan-lahan perjalanan yang awalnya terasa horor itu bisa berubah menjadi perjalanan paling inspiratif dalam hidupku.

Sejak kecil aku tinggal di Solo, Jawa Tengah bersama eyangku. Kota kecil ini lebih dekat ke gunung dari pada ke laut. Itu sebabnya aku tidak mengenal laut dengan baik hingga dewasa, apalagi naik kapal laut. Pertama kali melihat laut adalah ketika aku sekolah dan berwisata di Parangtritis Yogjakarta. Ombak laut Selatan yang besar membuatku merasa berada dalam sebuah scene film horor. 

Sejak saat itu, siapapun yang mengajakku pergi ke tempat yang berhubungan dengan laut selalu aku tolak. Bahkan saat pergi ke Bali, ketika teman-temanku bergembira menikmati wisata air, aku justru menunggu mereka dikejauhan tanpa mau mendekat laut. 

Hingga beberapa bulan yang lalu Balai Konservasi Taman Nasional Kepulauan Seribu memintaku mengajar ke Pulau Pramuka. Bagiku ini adalah sebuah dilemma. Mengajar ketrampilan adalah hobi sekaligus profesiku. Profesi ini yang telah membawaku berkeliling hampir diseluruh wilayah Indonesia. Ketika tawaran itu datang aku merasa ironis bahwa Kepulauan Seribu yang letaknya sangat dekat dengan Jakarta yang menjadi tempat tinggalku sekarang, justru belum pernah aku kunjungi. 


Apalagi jenis ketrampilan yang mereka minta untuk aku ajarkan sangat sulit mencari instrukturnya. Sementara instansi yang memintaku berharap kerajinan kulit telur ini bisa menjadi salah satu souvenir khas Pulau Pramuka sekaligus memberdayakan masyarakat setempat. Penyelenggara kegiatan ini sudah mencari pengajar untuk kerajinan kulit telur selama beberapa bulan hingga akhirnya mereka lega menemukanku. Jadi tidak ada alasan bagiku untuk menolaknya. 

Dengan kekuatan dari semangat berbagi ilmu dan membantu pemberdayaan masyarakat Pulau Pramuka, maka akupun menerima tawaran ini. Sayangnya perjalanan menuju Pulau Seribu itu mau tidak mau harus naik kapal dan melewati laut. Walaupun kata mereka hanya sebentar yaitu sekitar satu jam. Bagiku perjalanan satu jam di laut itu sangat panjang. 

Teringat film The A Team pada era tahun 90 an dulu, ada satu jagoannya yang berbadan besar namun takut naik pesawat terbang, sehingga jika The A Team harus naik pesawat maka tokoh ini harus dibuat pingsan terlebih dahulu. Aku juga sama seperti itu. Mungkin aku perlu disuntik pingsan dulu baru aku dinaikkan ke kapal laut. Tapi siapa juga yang mau melakukan itu untukku. 

Hari-hari menunggu keberangkatan ke Pulau Pramuka terasa sangat panjang. Aku jadi bisa merasakan bagaimana rasanya seseorang yang akan dieksekusi mati. Padahal beberapa hari sebelumnya aku juga pergi ke luar Jakarta naik pesawat terbang. Ketika pesawat take off maupun akan landing aku selalu menyempatkan melihat ke bawah. Aku hanya ingin menghibur diriku bahwa teluk Jakarta adalah laut yang tenang dan aman bagiku. Tapi ketika aku melihat kapal-kapal besar itu hanya nampak seperti cendol dan speed boat seperti biji selasih dalam mangkuk es campur, maka nyaliku menjadi kecil lagi. 

Maka ketika hari itu tiba, malam harinya aku hampir-hampir tidak bisa tidur. Pagi-pagi aku sudah menuju dermaga di Marina Ancol ditemani oleh ibuku. Berbeda dengan hari-hari penantianku, saat menunggu speed boat adalah saat yang paling kilat dalam hidupku. Tidak ada lagi perpanjangan waktu dan tidak ada lagi pintu keluar saat itu. Mau tidak mau aku harus masuk ke dalam speed boat. 

Goyangan kecil speed boat di dermaga tidak sebanding dengan degupan jantungku. Sejenak aku bisa menguasai diriku sendiri ketika ibuku yang duduk di sampingku mengajakku mengobrol sambil melihat rumah-rumah mewah yang ada di tepi dermaga. Bahkan ketika perlahan-lahan speed boat itu berjalan aku sudah sangat bisa meyakinkan diriku bahwa perjalanan ini akan sangat menyenangkan. 

Air laut yang sangat tenang pagi itu seakan merayuku serta meyakinkanku bahwa perjalanan selama satu jam ke depan adalah sebuah perjalanan yang menyenangkan. Benar memang. AKu mulai menikmati pemandangan laut yang tenang serta gugusan pulau kecil yang ada di kiri kanan. Ketika aku mulai terbiasa, tiba-tiba speed boat itu berhenti dan bergoyang cukup kuat. Rasanya saat itu Malaikat maut sudah ada dihadapanku untuk mencabut nyawaku. 

Penumpang lain yang ada di speed boat itu nampak tenang. Mereka adalah orang-orang pulau yang telah terbiasa dengan perjalanan laut. Dari mereka juga aku tahu bahwa goncangan itu berasal dari anak buah kapal yang berusaha melepaskan sampah plastik yang menyangkut pada baling-baling speed boat. Ini adalah hal yang biasa terjadi ketika kapal sudah mendekati pantai. Untunglah ini tidak memerlukan waktu lama. Sesaat kemudian speed boat itu kembali berjalan menuju Pulau Pramuka. 

Ketika sampai di dermaga Pulau Pramuka aku sudah bisa bernafas lega. Rasanya aku tidak percaya bahwa aku sudah bisa mengalahkan ketakutanku pada laut. Apalagi ketika aku bertemu dengan penduduk setempat yang sangat ramah. Ditambah lagi dengan sunset yang bisa aku lihat sangat indah dari dermaga Pulau Pramuka sore hari. Kita memang tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi sebelum kita mencobanya dan kemenangan yang sesungguhnya adalah kemenangan mengalahkan rasa takut pada diri sendiri. 

Tulisan ini pernah aku posting di kompasiana pada tanggal 3 September 2013

0 komentar:

Posting Komentar